Ratusan Anak-anak Dievakuasi ke Sekolah Polisi
Ribuan pengungsi konflik Lampung Selatan itu kini ditempatkan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling milik Polda Lampung.
Konflik sosial yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, antara
masyarakat Balinuraga dan Way Harong, menyebabkan ratusan anak-anak
menjadi korban. Mereka kehilangan tempat tinggal dan tidak bisa
bersekolah.
Tak kurang dari 247 anak menjadi pengungsi dari 1.108 pengungsi yang
tercatat dalam konflik yang menyebabkan 14 orang tewas dan sembilan
orang terluka itu.
"Empat belas orang itu terdiri dari empat orang yang tewas pada Minggu
(28/10), dan sepuluh pada Senin (29/10)," kata Karo Penmas Polri,
Brigjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/10).
Menurut Boy, Mabes Polri sangat menyesalkan konflik yang dipicu oleh
kecelakaan lalu lintas itu. Ceritanya, pada Sabtu (27/10), terjadi
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan dua remaja putri. Saat itu
keduanya ditolong oleh warga Balinuraga.
"Saat itulah muncul isu pelecehan seksual, juga provokasi oleh pihak
tertentu. Sebenarnya sudah ada pertemuan awal masyarakat yang
bertetangga (Desa Balinuraga dan Way Halong di Way Panji), dan akhirnya
pecah keributan," ungkap Boy.
Selain pengungsi yang hingga kini ditempatkan di Sekolah Polisi Negara
(SPN) Kemiling milik Polda Lampung, tercatat ada tujuh rumah rusak, 11
roda dua terbakar, satu sekolah dibakar, satu minibus bakar, serta satu
jeep dirusak. Hari ini, kondisi dilaporkan sudah kembali kondusif.
"Apakah ada masalah lain sebelumnya (yang membuat masyarakat gampang
diprovokasi), kita akan kaji, mengapa masyarakat begitu cepat emosi. Ini
kondisi yang disayangkan," imbuh Boy.
Upaya untuk menangkap pelaku, tambah Boy, sebenarnya sudah dilakukan
polisi sejak hari pertama. Polisi sudah melakukan olah TKP dan
mengumpulkan barang bukti, tapi upaya ini terhambat karena konflik
kembali terjadi pada Senin.
"Sudah ada penyelidikan dan penyidikan. Yang terpenting supaya tidak
berkembang hal yang lebih buruk. Seluruh korbannya memang beretnis Bali.
Massa yang menyerbu sekitar 10 ribu. Sebenarnya pada Senin sudah
disekat, dihalau, tapi ada celah jalan lain seperti pematang, dan
akhirnya terjadi bentrok lagi," bebernya.
Saat ini, menurut Boy, ada 2.150 gabungan Polri dan TNI yang ditempatkan
di lokasi kejadian untuk mencegah konflik kembali berulang. Itu
termasuk anggota Brimob dari Mako Brimob Kelapa Dua, Banten, Jateng, dan
Sumsel.
Asops Polri Irjen Badrodin Haiti dan Ka Kor Brimob Irjen Syafei Aksal,
juga terjun ke lokasi. Polisi menegaskan akan berupaya memediasi kedua
belah pihak untuk berdialog, supaya kasus ini tak berlarut-larut.
Jasad korban tidak utuh
Menurut Kapolres Lampung Selatan (Lamsel) AKBP Tatar Nugroho, saat
berada di Waypanji, korban tewas tersebut empat orang di antaranya warga
Kecamatan Kalianda akibat bentrokan hari pertama, Minggu (28/10),
sedangkan dalam bentrokan pada hari kedua, Senin (29/10), korban tewas
sebanyak 10 orang, warga dari Desa Balinuraga.
Tatar merincikan, nama-nama para korban bentrokan dari Kecamatan
Kalianda yang tewas, yakni Yahya bin Abdulah, 45, warga Kelurahan
Wayurang, Marhadan, 35, warga Gunungterang, dan Alwin, 35, warga
Tajimalela.
"Satu lagi, Solihin, 35, warga Kalianda yang tewas saat mendapatkan
perawatan medis di RSU Abdul Moeloek Bandarlampung," kata dia pula.
Namun, korban bentrokan hari kedua sebanyak 10 orang dari pihak warga
Desa Balinuraga, menurut dia, masih dalam proses identifikasi di rumah
sakit karena sebagian tubuh korban tidak utuh lagi akibat bentrokan
antarwarga itu.
"Kami telah menyisir perladangan dan perkebunan di lokasi bentrokan itu, dan menemukan 10 korban tewas," kata Tatar.
Selain korban tewas sebanyak 14 orang itu, kata dia lagi, jumlah korban
luka-luka mencapai sembilan orang dari Kalianda yang sebagian besar
berupa luka terkena tembakan dan luka tusuk saat terjadi bentrokan itu.
Sedangkan kerugian materi akibat bentrokan antarwarga itu, berupa 166
unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa, 26 unit
rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor dibakar, dan dua
gedung sekolah ikut dibakar massa.
Satu unit mobil Isuzu Panther milik Dit Shabara Polda Lampung, satu unit mobil Honda CRV, dan Strada juga ikut dirusak massa.
Tak Cukup Sekadar Kesepakatan Damai untuk Tuntaskan Konflik Lampung
Sedikitnya 10
orang tewas dan delapan orang terluka, serta 1.108 orang harus
mengungsi, akibat konflik yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan,
antara masyarakat Balinuraga dan Way Harong.
Sosiolog dari Universitas Lampung (Unila) Hartoyo mengatakan, peristiwa
kekerasan yang terjadi pada Minggu (28/10) itu bukanlah terjadi secara
tiba-tiba. Melainkan, menurutnya, itu merupakan akumulasi dari konflik
yang terjadi sebelumnya.
"Sedikit ada pemicu, maka terjadilah. Ibarat ada bara api dan daun
kering berserakan, itu kan bahaya. Ada angin sebagai pemicunya, maka
terjadi kebakaran," kata Hartoyo ketika dihubungi Beritasatu.com, Selasa
(30/10).
Hartoyo menceritakan, konflik awal terjadi sebelum tahun 2012, ketika
kelompok Bali menyerang kelompok Lampung. Kemudian pada Januari 2012,
kelompok Lampung pun menyerang kelompok Bali dan terjadi aksi pembakaran
rumah.
"Sampai sekarang belum ada tindakan penyelesaian secara hukum. Jadi, ada
dendam, kebencian, ketidakpuasan, serta emosi massa yang masih
terpendam," jelasnya.
Akar masalah konflik ini, kata Hartoyo, dipicu oleh kecemburuan ekonomi
dan sosial, serta ada perbedaan nilai prinsip keagamaan. Menurutnya,
secara ekonomi kelompok Bali lebih baik dari kelompok Lampung.
Hartoyo pun mengatakan bahwa potensi konflik seperti ini bisa terjadi di
mana saja. Namun menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana caranya
agar potensi itu ditata dengan baik menjadi produktif. Karena kalau
tidak dikelola, akan terjadi konflik aktual, dan ketika mengalami
eskalasi, terjadi kekerasan.
Kesepakatan damai antara tokoh adat maupun tokoh masyarakat, menurut
Hartoyo, tidaklah cukup untuk meredam gejolak yang terjadi di tingkat
masyarakat. Tokoh adat dan tokoh masyarakat termasuk tataran elite, dan
perjanjian damai itu sifatnya tidak mengikat.
Jadi, menurutnya pula, solusi penyelesaian konflik itu adalah aparatur
negara, baik pemerintah daerah maupun instansi terkait, melakukan
pemulihan kondisi fisik, ekonomi, serta sosial.
"Harus ada proses hukum, dan kondisi psikologis korban harus dikembalikan. Sampai sekarang belum tuntas di lapangan," tegasnya.
Pada kesempatan terpisah, Koalisi Rakyat Lampung, menyerukan para pihak
yang berkonflik di provinsi itu segera berdamai dan kembali menjadi
persaudaraan.
"Mari kita menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan atau
provokasiyang bisa memicu terjadinya bentrokan kembali," kata
Koordinator Koalisi Idhan Januwardhana di Jakarta, Selasa (30/10).
Bagi Koalisi, aparat keamanan juga harus secara sigap dan cermat
mengantisipasi dan meredam konflik dengan melakukan penegakan hukum
secara adil, transparan, dan tidak diskriminatif.
Adapun para kepala daerah dan jajarannya di Lampung, beserta jajaran
muspida Lampung Selatan sebaiknya segera mengupayakan resolusi konflik.
"Kami harap ada langkah konkret terciptanya perdamaian dan mengerahkan
segala program pembangunan secara adil dan merata demi terciptanya
perdamaian yang berkelanjutan," ujar Idhan.
Rangkaian Konflik Horizontal di Lampung Selatan
Konflik horizontal di Lampung Selatan berulang dan kian meningkat eskalasinya.
Wajah-wajah mengeras dengan menenteng beragam senjata, seperti parang,
pedang, golok, celurit, bahkan senjata senapan angin tampak bergerak
pasti menuju Desa Balinuraga, Sabtu (27/10), sekitar pukul 23.00 WIB.
Ratusan warga itu merangsek ke Balinuraga bukan tanpa sebab. Beberapa
waktu sebelumnya, dua gadis dari Desa Agom yang beretnis Lampung,
diganggu oleh pemuda Bali warga Balinuraga. Akibatnya, kedua gadis itu
terjatuh dari motornya dan mengalami luka-luka.
Kasat mata, siapa menyana jika insiden kecil serupa itu kemudian
menyulut api persoalan yang demikian besar. Serbuan warga Agom ke
Balinuraga menyebabkan sedikitnya tiga warga meregang nyawa. Sedangkan
belasan rumah di desa tersebut pun rata dengan tanah akibat dibakar.
Tidak dapat menerima kekalahan dalam "pertempuran" massal itu, pada
Senin (29/10), ribuan warga yang disebut-sebut berasal dari gabungan
sejumlah etnis di Lampung kembali bergerak menuju Balinuraga yang
mayoritas warganya beretnis Bali. Mereka menerobos blokade aparat yang
membentengi desa tersebut.
Mereka datang tak lain untuk membalaskan dendamnya. Pertikaian yang
lebih besar pun meledak. Akibatnya, sebanyak sedikitnya 6 warga
Balinuraga meninggal dunia dan desa itu porak peranda. Hingga kini,
suasana di lokasi tersebut pun masih mencekam kendati sedikitnya 2.150
aparat telah dikerahkan untuk berjaga.
Konflik horizontal yang total hingga Senin (30/10) telah menewaskan 14
warga itu bukan kali pertama terjadi di kabupaten tersebut. Pada awal
2012, konflik juga meledak di Sidomulyo, Lampung Selatan, dan
mengakibatkan 48 rumah terbakar dan 33 lainnya rusak.
Pada peristiwa itupun, sebanyak sekitar 700 aparat kepolisian dikerahkan
untuk mengantisipasi bentrok susulan. Hanya berselang beberapa bulan
kemudian, yakni pada Agustus 2012, konflik kembali pecah.
Bentrokan kali ini terjadi antarwarga desa yang bertetangga, yakni Desa
Banyuwangi dan Desa Purwosari, di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan, Provinsi Lampung. Persoalan yang memicu adalah aksi main hakim
sendiri terhadap seorang tersangka pencuri kendaraan bermotor.
Buntut dari insiden tersebut, warga Desa Banyuwangi melakukan
penyerangan ke Desa Purwosari yang mengakibatkan sejumlah rumah dirusak
dan dibakar. Sebelumnya, konflik senada juga meletup di Kecamatan
Padangcermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Bentrokan itu dipicu perkelahian antara dua pemuda di sebuah warung
nasi, sehingga berakibat masing-masing pihak bertikai membawa kelompok
mereka sampai menyulut emosi warga secara lebih meluas.
Akibatnya, kantor Polsek Padangcermin menjadi sasaran amukan massa,
karena mereka merasa tidak puas atas penyelesaian kasus yang ditangani
kepolisian setempat.
Rangkaian peristiwa kekerasan di Lampung Selatan yang dipicu oleh
masalah-masalah sederhana memang kian meningkat eskalasinya. Menilik
rangkaian aksi kekerasan yang terjadi di kawasan tersebut, layak kiranya
jika muncul sebuah tanda tanya besar.
Yakni, apakah benar memang negara kecolongan mengantisipasi gesekan yang
muncul dalam kehidupan masyarakat yang beragam atau memang intervensi
dari pihak tertentu berhasil menekan pemerintah setempat agar tidak
menuntaskan permasalahan secara proporsional?
Belum Ada Tersangka dalam Kerusuhan Lampung
Polri dan TNI menurunkan aparat tambahan bantuan untuk menjaga keamanan.
Kepolisian Republik Indonesia hingga saat ini belum menetapkan tersangka
dalam kasus kerusuhan di Lampung Selatan yang berlangsung sejak Sabtu
(27/10) hingga Senin (29/10) dan menewaskan 10 orang.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, kepada wartawan, di
Bandara Halim Perdanakusuma, Jaktim, hari ini. "Kita tunggu
perkembangannya,” ujarnya.
Timur mengatakan, kepolisian masih mengembangkan penyelidikan, termasuk
terhadap kelompok yang mengganggu pemudi yang kejadiannya menjadi sumber
konflik. “Ini semua berkaitan dengan hal-hal yang bisa dikembangkan
mulai dari kelompok yang mengganggu kegiatan pemudi dari masalah sepele
ini. Tentunya kondisi itu yang mempengaruhi dan melatarbelakangi
semuanya,” ujarnya.
Dia mengakui, konflik horizontal sering kali terjadi di beberapa daerah
di Indonesia. Oleh karena itu, seluruh elemen pemerintah dan masyarakat
harus bersama-sama bekerja keras dalam pembinaan wilayah.
Aparat keamanan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan aparat pemerintah
daerah, menurut Kapolri, haruslah saling bersinergi dalam menjaga
keamanan di wilayah. Setiap konflik yang terjadi di daerah, kata Timur,
memiliki ciri khas dan karakteristik masing-masing.
”Kepala daerah dan masyarakat bersama-sama kedepankan langkah preemptif dan preventif,” kata mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto membela
aparat keamanan untuk tidak dipermasalahkan atas terjadinya kerusuhan
susulan di Lampung.
”TNI ke mana, polri ke mana, mereka ada di situ. Mereka kan lewat jalan-jalan tikus, banyak cara ke sana,” kata Djoko.
Markas Besar Polri menurunkan aparat tambahan bantuan untuk menjaga
keamanan, begitu juga dengan TNI yang menurunkan lima SSK (satuan
setingkat kompi, 100 orang) untuk ikut membantu menjaga keamanan.
Kapolri: Jodie Rooseto Harus Tanggung Jawab
Jodie batal dilantik jadi Kapolda hanya beberapa jam sebelum pelantikan pagi ini.
Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Timur Pradopo membenarkan
pembatalan Kapolda Lampung Brigjen Jodie Rooseto untuk menduduki kursi
empuk sebagai Kapolda Jawa Barat menggantikan Irjen Putut Eko Bayuseno
adalah bagian dari 'reward and punishment'.
"Semua penilaian pastilah (dilakukan). Itu dinamika lapangan dan risiko
(yang bersangkutan) untuk bertanggung jawab di wilayahnya," kata Timur
di Gedung Rupatama Mabes Polri, pagi ini.
Saat itu orang nomor satu di korps baju coklat tersebut baru melantik
Kapolda Jawa Barat Irjen Putut Bayuseno yang diangkat menjadi Kapolda
Metro Jaya menggantikan Irjen Untung S Radjab yang memasuki masa
pensiun.
Juga turut dilantik pengganti Putut, Kapolda Sultra Brigjen Tubagus
Anis Angkawijaya. Pengganti Tubagus, Brigjen Ngadino yang sebelumnya
menjabat sebagai Kasetukpa Lemdikpol Polri, juga turut dilantik.
Sedangkan, Jodie yang akan mengisi posisi yang ditinggal Ngadino tak
tampak. "Dia dia harus selesaikan tugas itu (rusuh Lampung). Dia harus
tanggung jawab sebagai Kapolda," tandas Kapolri.
Jodie batal dilantik jadi Kapolda hanya beberapa jam sebelum dirinya
dijadwalkan dilantik pagi ini. Pembatalan itu tertuang dalam Kep Kapolri
645/X/2012 tertanggal 30 Oktober 2012 yang salinannya diterima
Beritasatu.com tadi malam.
Keputusan Kapolri itu meralat Kep Kapolri 640/X/2012 tertanggal 26
Oktober yang menunjuk Jodie menggantikan Putut. Pembatalan itu terkait
konflik sosial yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, antara
masyarakat Balinuraga dan Way Harong yang menyebabkan 10 orang tewas dan
delapan orang terluka.
Posisi Kapolda Lampung diisi oleh Brigjen Heru Winarko yang sebelumnya
menjabat sebagai Pati Polri di Menko Polhukam. Heru ini juga sempat
"apes" saat dirinya duduk sebagai Kapolres Jakarta Pusat pada 2008.
Saat itu terjadi insiden Monas yakni saat massa dari berbagai kelompok
Islam termasuk Front Pembela Islam yang bentrok dengan Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Konflik Lampung sangat disesalkan oleh Mabes Polri. Sebab, konflik itu
dipicu soal sederhana yakni kecelakaan lalu lintas. Kini, ada 2.150
gabungan Polri dan TNI yang ditempatkan di lokasi kejadian di Lampung
Selatan demi mencegah konflik kembali berulang. Itu termasuk anggota
Brimob dari Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Banten, Jateng, dan Sumsel.