Kemampuan
pertahanan tidak saja penting dalam menjaga keselamatan bangsa, tetapi
juga simbol kekuatan serta sarana untuk menggapai cita-cita, tujuan,
ataupun kepentingan nasional.
Efektivitas pertahanan negara turut
ditentukan juga oleh kemampuan industri pertahanan dalam memenuhi
kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan alat utama sistem senjata
(alutsista) secara mandiri. Oleh sebab itu, industri pertahanan perlu
dibangun melalui revitalisasi industri pertahanan.
Setelah
Presiden SBY memberikan arahan revitalisasi industri pertahanan di
Kementerian Pertahanan tahun 2004, sejak saat itu mesin dari semua
pemangku kepentingan segera bekerja. Kementerian Pertahanan sebagai
pembuat regulasi dan kebijaksanaan pembinaan industri pertahanan, TNI
sebagai pengguna, dan industri pertahanan sebagai produsen dalam negeri
menyatu dalam target merevitalisasi industri pertahanan untuk
membangkitkan kekuatan industri pertahanan dalam negeri.
Berbagai
langkah, strategi, dan regulasi segera diambil. Pemerintah yang
diperankan oleh Bappenas, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan
Kementerian Pertahanan bersama TNI dan Polri serta instansi pemerintah
lain sebagai pengguna, segera menerjemahkannya.
Presiden pada 2010
telah membentuk suatu badan kebijakan nasional industri pertahanan
yang disebut Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Tugas yang
diemban oleh KKIP adalah mengembangkan kemampuan industri pertahanan
dalam negeri, baik alutsista maupun non-alutsista.
Sejak saat itu
Indonesia sebenarnya telah memiliki visi, misi, dan strategi dasar
pembangunan industri pertahanan. Apalagi pemerintah dan DPR pada 2012
menetapkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Industri Pertahanan Negara
sebagai legalisasi dan legitimasi menghidupkan dan mengembangkan
industri pertahanan dalam negeri.
Industri pertahanan
Suatu
negara yang kuat akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan industri
teknologi pertahanan yang mandiri. Filosofi ini penting untuk mendukung
misi negara menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah.
Presiden
melihat kebangkitan industri pertahanan dalam negeri dan untuk semakin
mendorong tumbuhnya industri pertahanan dalam negeri, presiden bahkan
menggariskan beberapa kebijakan teknis.
Pertama mewajibkan
pengguna dalam negeri memakai produksi dalam negeri untuk alutsista dan
non-alutsista. TNI dan Polri serta instansi pemerintah lainnya
diwajibkan memakai produksi dalam negeri manakala kebutuhan tersebut
dapat diproduksi oleh kita sendiri.
Kedua, manakala harus membeli
dari luar negeri, maka persyaratannya adalah produksi dalam negeri
belum mampu memenuhi spesifikasi teknis dan kebutuhan operasional dari
pengguna yang perlu teknologi tinggi. Namun, pembelian dari luar negeri
harus ditambah persyaratan transfer teknologi dan ofset dari negara
pemasok kepada industri pertahanan dalam negeri.
Ketiga, pembelian dari luar negeri tidak boleh mendikte secara politik terhadap negara dalam membeli peralatan militer.
Sebagai
pembina industri pertahanan, Kemhan berkepentingan memberikan peluang
kepada industri pertahanan dalam negeri untuk memasok kebutuhan.
Bahkan, Kemhan mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk bisa
ekspor produk mereka ke luar negeri.
Kemampuan industri dalam
negeri kita sekarang ini sudah pada tingkat teknologi menengah.
Artinya, industri pertahanan kita sudah dapat membuat dan sudah
digunakan oleh TNI.
Sebagai contoh, alutsista darat buatan PT
Pindad mulai dari pistol dan senjata serbu sampai mortir serta
kendaraan tempur roda ban (panser Anoa) sudah mendukung kebutuhan TNI
AD. Bahkan, produk PT Pindad itu sekarang sudah berstandardisasi PBB,
demikian juga kendaraan taktis pengintainya.
Saat ini sedang
berlangsung pembaruan kendaraan tempur roda rantai (tank AMX-13) yang
merupakan awal membangun tank ringan. Setelah itu diharapkan kita bisa
membuat sendiri tank ringan sampai berat.
Saat membeli tank berat
(MBT Leopard) dari Jerman, dalam paket kontrak ada klausul transfer
teknologi. Pihak Jerman menyetujui dalam pemeliharaan pascajual,
artinya kita akan mendapat kesempatan melakukan didampingi pihak
produsen.
Untuk alutsista udara, PT Dirgantara Indonesia kini
sedang mengembangkan kerja sama produksi dengan Airbus Military untuk
membangun pesawat angkut sedang CN 295. Kita sangat berkepentingan
untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pesawat angkut ringan, seperti
C-212, CN 235, dan CN 295, yang bermuatan 50 penerjun.
Hal yang
sama kita lakukan dalam pembuatan helikopter serbu Bell-412 dan heli
Cougar 725. PT Dirgantara Indonesia diharapkan bisa memenuhi sebagian
kebutuhan dari TNI dan cocok untuk operasi kemanusiaan.
Di sisi
alutsista laut, kita bahkan memiliki beberapa industri pertahanan dalam
negeri yang bisa diandalkan. PT PAL diandalkan untuk pembuatan kapal
perang skala besar, seperti class korvet dan kapal selam. PT PAL juga
didorong untuk membuat kapal perang untuk tanker.
Kita juga
memiliki badan usaha milik negara yang lain, yaitu PT Dok dan Perkapalan
Kodja Bahari. BUMN ini kita beri porsi untuk membangun Landing Ship
Tank atau kapal pengangkut tank ringan dan sedang.
Industri
pertahanan swasta juga sudah memberikan kontribusi besar untuk kapal
patroli cepat ukuran 60 meter ke bawah, seperti Palindo, Lundin,
Anugrah. Bila berkualitas, peluang yang sama juga diberikan kepada
beberapa galangan swasta lain di dalam negeri. Alokasi anggaran kepada
industri pertahanan cukup besar dalam rencana strategis 2010– 2014,
minimal Rp 5,4 triliun.
Peluang ini sekaligus menjadi tantangan
bagi industri pertahanan dalam negeri untuk meningkatkan kualitas
manajemen agar mampu memenuhi persyaratan kualitas, waktu distribusi,
dan harga yang bersaing. Tanpa ada profesionalisme dalam pengelolaan
perusahaan dan keuangan, semua peluang yang ada ini tidak akan bisa
termanfaatkan bahkan terlewat tanpa makna.
Saat ini industri
pertahanan PT PAL bahkan perlu untuk merekrut tenaga terampil umur 18–20
tahun agar mereka siap digunakan dalam pembangunan kapal selam, yang
diharapkan bisa kita lakukan tahun 2020.
Hal kritis dalam
pembangunan industri pertahanan dalam negeri adalah pengawakan manajemen
yang unggul dan kemampuan untuk mengeliminasi parasit dalam manajemen
industri pertahanan dan meniadakan peran ”broker” yang berdampak pada
penggelembungan biaya.
Manajemen industri pertahanan jangan pernah
memberikan peluang distorsi internal dan eksternal yang hanya
menimbulkan kerusakan manajemen. Aturan yang mengharuskan kita membeli
langsung ke pabrikan dan menjual langsung kepada pembeli adalah cara
paling tepat untuk efisiensi dan manfaat.
Bila kita mau, Indonesia
pasti sanggup menjadi kekuatan regional yang didukung oleh kemampuan
industri teknologi pertahanan dalam negeri.