INDONESIA KU

Alat Utama Sistem Senjata semua mantra Tentara Nasional Indonesia Menuju MEF (minimum essential forces)

Senin, 01 Oktober 2012

PETUALANGAN KAHAR MUZAKKAR (DI/TII)

Di tepian Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.

Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ''Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,'' kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi'i dari Gatra.

 Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Tapi Sadeli, yang ditemui di rumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras.

Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.

Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka --dari Jawa Barat hingga Makassar-- telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)

Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.

Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.

SADELI, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas.

Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ''Saya tegang, senjata pun macet,'' kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.

Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ''Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,'' bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.

Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ''Kahar geus beunang... hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),'' Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.

Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. 

Sumber: gatra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar