Banyak hal yang patut kita kagumi dari sosok angkatan perang
Indonesia di era 60-an. Seperti kita sudah kenal keberadaan jet tempur
Mig-21, rudal SA-2 dan KRI Irian. Tapi masih ada lagi artefak sejarah
alat tempur yang rasanya patut kita ”banggakan”, khususnya dari TNI-AU
(dulu AURI). Pasalnya skadron helikopter angkut berat TNI-AU di tahun
60-an memiliki jenis helikopter raksasa, Mi-6. Mi-6 adalah helikopter
buatan Rusia yang diproduksi oleh biro Mil yang dipimpin oleh Mikhail L.
Mil. Keluar pertama kali pada September 1957 dan merupakan helikopter
yang terbesar di dunia, dan memecahkan berbagai rekor dunia. Rekor
terbesar disandang sampai muncul penggantinya pada awal 1980-an, Mil
Mi-26 Halo dengan pengecualian Mil Mi-12 Homer yang dianggap gagal dan
tidak diproduksi massal.
Helikopter Mil Mi-6 adalah helikopter yang dirancang berdasarkan
persyaratan teknis bersama antara biro militer dan sipil. Mereka
menginginkan heli raksasa yang tidak hanya dapat menciptakan dimensi
baru dalam mobilitas perang dengan kemampuan memindahkan kendaraan lapis
baja ringan, namun juga dapat digunakan untuk kegiatan eksplorasi di
wilayah-wilayah terpencil di Uni Soviet. Syarat lain, helikopter itu
harus dapat mengangkut kargo dalam jumlah besar, sanggup dalam berbagai
macam kondisi serta memiliki jarak terbang yang jauh.
Setelah dihitung, syarat tersebut dapat dicapai apabila heli tersebut
menggunakan mesin turbin bertenaga besar, satu hal yang belum pernah
dibuat pada helikopter Soviet sebelumnya. Mesinnya sendiri cukup
menakjubkan, sebagai gambaran berat rotor (baling-baling) utama dan
gearbox Soloviev R-7 mencapai 3200 kilogram yang berarti lebih berat
dari berat kedua mesin turboshaft Soloviev D-25V. Sejak produksi yang
ke-30 pada 1960, Mi-6 dipasangi variable-incidence wing. Sayap yang
terletak dekat rotor utama itu, selain sebagai stabilisator juga berguna
untuk menambah daya angkat pesawat.
Saat terbang kecepatan jelajah, sayap itu menanggung 20 persen beban
helikopter. Dengan begitu, Mi-6 dapat melakukan rolling take-off (lepas
landas dengan meluncur seperti halnya pesawat biasa) dengan berat yang
lebih besar dibandingkan dengan vertical take-off (lepas landas secara
vertikal yang dilakukan helikopter pada umumnya). Menurut Chris Chant
dalam buku Military Aircraft of the World, merupakan hal yang luar
biasa. Helikopter ini terbang pertama pada akhir 1957 dengan pilot R.I
Kaprelyan.
Mil Mi-6 yang dioperasikan TNI-AU
Menjelang Operasi Trikora, pada awal 1960-an Indonesia membeli berbagai perlengkapan militer dari Uni Soviet. Namun beberapa diantaranya tiba setelah Trikora selesai. Termasuk diantaranya adalah helikopter Mil Mi-6 Hook pesanan Indonesia yang dibeli sembilan unit yang dioperasikan oleh TNI-AU (dulu AURI, Angkatan Udara Republik Indonesia). Pesawat itu diberi nomor registrasi H 270- H278. Beberapa publikasi asing menyebutnya enam unit helikopter.
Menjelang Operasi Trikora, pada awal 1960-an Indonesia membeli berbagai perlengkapan militer dari Uni Soviet. Namun beberapa diantaranya tiba setelah Trikora selesai. Termasuk diantaranya adalah helikopter Mil Mi-6 Hook pesanan Indonesia yang dibeli sembilan unit yang dioperasikan oleh TNI-AU (dulu AURI, Angkatan Udara Republik Indonesia). Pesawat itu diberi nomor registrasi H 270- H278. Beberapa publikasi asing menyebutnya enam unit helikopter.
Helikopter Mi-6 Hook sendiri bukanlah pilihan utama TNI-AU yang
sangat menginginkan Sikorsy S-61 Sea King terutama versi S-64 Tarhe yang
termasuk flying-crane helicopter. Namun karena alasan ekonomi dan
terutama politik, tentu tidak bisa didapatkan sehingga apa yang bisa
diambil dari Uni Soviet, itulah yang digunakan.
Sebelum menerbangkan Mi-6, para pilot TNI-AU berlatih dengan
helikopter Mi-4 yang sudah dimiliki di Pangkalan Udara (Lanud) Atang
Senjaya di Semplak, Bogor. Awal 1965, 22 personel TNI-AU dikirim ke Uni
Soviet yang terdiri atas enam pilot, satu navigator dan sisanya teknisi.
Disana mereka dilatih di Akademi AU Soviet di Frunze, ibukota
Kirghyzstan.
Pendidikan diselesaikan dalam enam bulan dan pada Juni 1964 mereka
kembali ke Indonesia, sedangkan helikopternya dikapalkan dari Sevastopol
di Laut Hitam dan dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada
tahun yang sama. Komponen Helikopter dirakit di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma oleh teknisi-teknisi Uni Soviet. Helikopter pertama
Indonesia diterbangkan pada 1 Oktober 1964. Selanjutnya dimasukan ke
jajaran Skadron 8 Wing 4 Lanud Atang Senjaya, Bogor.
Helikopter itu kemudian dilibatkan dalam operasi-operasi selama
periode Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) dan penumpasan kelompok
pemberontakan Paraku di Kalimantan Barat dengan fungsi sebagai transpor
dan dukungan logistik. Berbeda dengan perlengkapan militer buatan Uni
Soviet yang dioperasikan Indonesia pada masa-masa Trikora dan Dwikora,
helikopter ini tidak menimbulkan kekhawatiran di sejumlah negara
tetangga. Selain karena helikopter transport, juga sepertnya negara
tetangga mengetahui kelemahan helikopter ini.
Menurut kesaksian para pilot yang pernah mengoperasikan helikopter
Mil Mi-6 Hook ini, banyak kelemahan teknis yang tidak sesuai dengan yang
ditawarkan Uni Soviet seperti kecepatan jelajah yang hanya menjapai
170-175 km/jam, tidak sampai 200 km/jam. Jarak terbangnya yang pendek
karena bahan bakarnya hanya cukup untuk 2 jam terbang sehingga kalau
pergi ke suatu tempat harus dapat mendarat karena tidak mungkin kembali.
Terbang jelajah yang pernah diperoleh maksimum adalah 2 jam 54 menit
yakni dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung hingga Tanjung Perak di
Surabaya, itupun dengan muatan yang tidak terlalu penuh.
Kemudian dari daya angkut, ternyata tidak sesuai dengan yang
ditawarkan. Dengan berat kosong heli 27,5 ton dan berat maksimum take
off 42 ton, selisih diantaranya sebagian dipakai untuk berat awak
pesawat dan bahan bakar yang mencapai sepulu ribu liter. Sebagai
akibatnya, perbandingan berat operasional dengan berat maksimum untuk
lepas landas sangat kecil, daya angkut efektifnya hanya 4,2 hingga 4,5
ton saja.Kelemahan lain adalah bila mendaratnya tidak tepat berakibat
bantalan udara (ground cushion) sukar diperoleh, namun jika terlalu
tinggi, putaran rotor ekor tidak dapat mengimbangi putaran rotor utama.
Namun demikian helikopter ini memiliki kelebihan yakni bisa digunakan
untuk segala medan. Ketika TNI-AU akan menggunakan helikopter
mengangkut barang-barang dengan rute Medan-Cot Girek di Aceh, terlebih
dahulu diuji dengan menerbangi rute Bandung-Pengalengan dengan
mengangkut barang. Ketika cuaca buruk menghadang, helikopter mendarat
darurat yang ternyata bukan kebin kentang yang diperkirakan pilot,
tetapi di dasar jurang dengan permukaan tidak rata.
Disinilah konstruksi helikopter Mi-6 teruji sekalipun tanah di kaki
roda kiri dan kanan tidak rata, karena sistem keseimbangannya bagus
sekali. Helikopter tersebut akhirnya berhasil diterbangkan keluar lembah
setelah muatannya dikurangi.
Helikopter ini tidak lama berdinas aktif dalam armada AURI (TNI-AU),
sekitar 1965-1968. Sebagaimana banyak peralatan militer buatan Uni
Soviet yang lain, setelah peristiwa G30S/PKI banyak yang tidak
dioperasikan lagi dengan alasan kekurangan suku cadang. Helikopter yang
terakhir terbang adalah helikopter berseri H-277.
Lebih disayangkan lagi karena tidak ada satupun helikopter Mi-6 Hook
yang dijadikan museum atau monumen. Padahal heli Mi-4 yang lebih kecil
dapat dijadikan monumen di museum Satria Mandala. Semua M-6
dibesituakan, padahal menurut pilot yang pernah menerbangkannya,
kondisinya sebenarnya masih bagus, diantaranya pada badan utama
(body/airframe) pesawat yang logamnya mengandung timah hitam sehingga
tahan karat sehingga bila diusahakan, helikopter ini sebenarnya masih
dapat dioperasikan.
Sumber: Indomeliter (Dikutip dari Wikipedia dan Angkasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar